Tugu Asia Afrika, keberadaan tugu ini menegaskan bahwa Bandung itu bukan saja kota yang identik dengan penuh kreatifitas, wisata kuliner, alam maupun belanja tetapi juga Bandung memiliki tempat bersejarah yang tidak boleh dilupakan dan harus dipelajari. Salah satunya Museum Konferensi Asia Afrika yang terletak di Jl. Asia Afrika No. 65 Bandung.
Awalnya Ane ingin mengunjungi museum ini waktu pagi menjelang siang hari, tapi saat itu masih tutup dikarenakan ada acara yang sedang berlangsung. Alhasil setelah minum kopi di Warung Kopi Purnama Ane kembali menuju kesini dan syukur museumnya sudah buka. Untuk masuk kedalam Ane harus menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu, tapi sebentar Ane ingin membaca papan pengumuman sebentar. Di papan pengumuman tersebut tertulis informasi mengenai jam buka museum.
Selasa - Kamis : 08.00 - 16.00 WIB
Jum'at : 14.00 - 16.00 WIB
Sabtu - Minggu : 09.00 - 16.00 WIB
Istirahat : 12.00 - 13.00 WIB
Senin dan Libur Nasional : Libur
Setelah membuka pintu masuk, seorang petugas keamanan gedung (satpam) menyambut Ane dengan ramah. Perlakuan yang sama pun Ia berikan kepada pengunjung-pengunjung lainnya. Sebelum menjelajah semua isi ruangan, Ane diarahkan terlebih dahulu oleh beliau ke meja registrasi yang berada di sisi kiri. Ane kira untuk masuk kedalam museum ini ada biaya yang dikenakan kepada setiap pengunjung, ternyata tidak untuk masuk kedalam pengunjung tak dikenai biaya sepeser pun alias gratis. Hanya saja Ane disuruh mengisi buku tamu yang tersedia cukup menuliskan nama dan asal Ane.
Penjelajahan Ane mulai dari ruang pamer tetap. Hal pertama yang menarik perhatian Ane adalah diorama yang menggambarkan situasi pembukaan Konperensi Asia Afrika 1955 oleh Presiden Soekarno. Walau usia kemerdekaan Indonesia masih terbilang cukup muda tapi betapa hebatnya Indonesia di masa itu karena organisasi bertaraf internasional di gelar di Bandung, tak hanya sebagai penonton saja tapi juga sebagai inisiator.
Bergerak ke sisi sebelah kanannya, terdapat peninggalan meja dan kursi yang pernah digunakan saat KAA, berbagai macam alat ketik kuno yang diletakkan didalam tabung kaca berbentuk persegi, serta foto-foto yang menggambarkan saat digunakan alat-alat tersebut. Selain alat-alat ketik kuno, museum ini menyimpan koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Konperensi Asia Afrika 1955.
Konferensi Asia Afrika adalah suatu babakan baru dalam sejarah dunia, dimana pemimpin-pemimpin bangsa Asia dan Afrika berkumpul dinegerinya sendiri untuk merundingkan dan mempertimbangkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama serta untuk menumbuhkan solidaritas Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika dilaksanakan ditengah-tengah berkecamuknya antagonis Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Konferensi Asia Afrika pun berlangsung dalam suasana pergolakan dunia yang disebabkan oleh masih adanya penjajahan terutama di belahan bumi Asia dan Afrika, serta politik diskriminasi ras (apartheid) yang masih membayangi Afrika terutama di Afrika Selatan. Ditengah-tengah situasi seperti itulah bangsa Indonesia tampil memprakarsai diadakannya Konferensi Asia Afrika dimana bangsa tersebut baru berusia sepuluh tahun merdeka (Sumber: Sebuah catatan di Museum KAA).
Konferensi Asia-Afrika dihadiri oleh ketua delegasi dari berbagai negara tentu hanya dalam lingkup benua Asia dan Afrika saja. Diantaranya Sardar Mohammad Naim (Menlu Afghanistan), U Nu (Perdana Menteri Birma), Kojo Botsio (Menteri Negara Pantai Emas), Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Ali sastroamidjojo (Perdana Menteri Indonesia), dan lain sebagainya.
Tak henti-hentinya Ane membaca setiap tulisan yang ada didalam ruangan ini, Ane sungguh kagum dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Betapa tidak bangsa yang kala itu masih berusia muda tapi sudah bisa menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa lain didunia. Dari hasil pertemuan Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan pada tanggal 18-24 April di Bandung ini menghasilkan 10 poin yang dikenal dengan Dasasila Bandung. Didalam museum, Dasasila Bandung ditulis kedalam 29 bahasa.
Berbeda dengan alat-alat ketik kuno yang diletakkan dibagian pinggir, alat-alat kuno ini justru diletakkan dibagian tengah museum. Alat-alat tersebut adalah kamera dan alat pencetak foto yang digunakan saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Menggemanya konferensi ini tak lepas dari peran awak media yang meliput. Tak hanya menggema di negeri sendiri, konferensi ini juga menggema di negeri orang. Hal ini ditandai dengan adanya surat kabar dari berbagai negara yang memuat tentang keberlangsungan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Pencahayaan didalam ruangan ini tidak terlalu terang namun disetiap barang pajangan terdapat lampu penerang agar pengunjung dapat melihat dan membaca setiap inormasi yang ada. Museumnya cukup bersih dan rapi sehingga Ane betah berlama-lama disini. Ada banyak informasi yang Ane dapatkan disini, dari sekian banyaknya ada sebuah informasi yang cukup membuat Ane bertambah bangga dengan bangsa ini. Ya informasi tersebut tentang Gerakan Non Blok. Presiden Soekarno bersama 4 pemimpin negara lainnya telah memprakarsai adanya gerakan ini. Presiden Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Presiden Kwame Nkrumah dari Ghana, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, dan Presiden Josip Broz Tito dari Yugoslavia. Gerakan Non Blok ini tak hanya meliputi negara-negara di Asia dan Afrika saja, tetapi juga negara-negara Amerika Latin, beberapa negara Eropa dan Pasifik. Mereka dipersatukan oleh kesamaan pandangan untuk tidak memihak pada salah satu blok.
Ane kira Museum KAA ini hanya sampai disini saja, ternyata tidak. saat hendak ke kamar kecil Ane diherankan oleh beberapa pengunjung kesana kemari. Ada apakah gerangan disana ya? dari kamar kecil Ane langsung menapaki lorong-lorong jalan didalam gedung ternyata owalah ruang aula dimana didalamnya terdapat ratusan kursi yang dibalut busa berwarna merah menghadap ke sebuah podium. Podium tersebut berisi meja panjang lengkap dengan kursinya dan dibagian belakangnya berjajar bendera-bendera dari berbagai negara peserta. Disisi kanan podium terdapat juga sebuah gong yang cukup besar tertempel gambar-gambar bendera dari berbagai negara peserta.
Kebetulan ada seorang penjaga keamanan yang sedang duduk-duduk santai dibelakang. Ane bertanya kepada beliau apakah iya tempat ini yang dahulu digunakan untuk konferensi dan dia mengatakan bahwa memang benar tempat ini masih asli yang dahulu pada tahun 1955 digunakan sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Pantas saja berada diruangan ini Ane merasakan betapa kuatnya kepercayaan diri serta visi dan misi bangsa Indonesia yang menembus batas zamannya.
Beruntung diruangan ini suasana masih sepi dan hanya ada Ane dan beberapa pengunjung saja maka dari itu Ane bisa menikmati ruangan ini dengan sangat puas mulai dari duduk-duduk cantik disalah satu kursi (pumpung bisa mungkin 1000 tahun lagi kursi ini sudah tak ada, jika adapun mungkin sudah diganti), narsis didepan meja pimpinan Konferensi Asia Afrika, hingga narsis didepan gong perdamaian Asia Afrika ke-50.
Berakhirnya kunjungan Ane disini berakhir pula kunjungan Ane di Bandung. Sebelum meninggalkan museum, tepat dibelakang pintu keluar Ane menjumpai sebuah bingkai foto yang cocok dan pas bila digunakan oleh orang yang gemar foto dan update status di social media. Ya, bingkai foto tersebut bertuliskan Museum Konferensi Asia Afrika yang mempunyai like sekitar 18 jutaan. Waow banyaknya.
Meninggalkan museum lantas Ane bergegas menuju Alun-alun Bandung tepatnya di Jl. Dalem Kaum untuk mencari angkot yang menuju ke Stasiun Kiaracondong. Ane harus kesini karena di Jalan Dalem Kaum inilah banyak bersliweran angkot-angkot dari berbagai jurusan. Tepat adzan maghrib berkumandang Ane sampai juga di Stasiun Kiaracondong. Dari Alun-alun Bandung sampai di Stasiun Kiaracondong ini Ane dikenai tarif angkot sebesar 5k saja. Sebenarnya untuk kelas bisnis Ane bisa saja naik dari Stasiun Bandung, tapi karena kesalahan dalam membeli tiket ya Ane mau tidak mau harus naik dari Stasiun Kiaracondong.
Okelah tidak apa-apa, begitu sampai dengan PeDenya Ane langsung check in. Ealah ternyata tidak diperbolehkan oleh petugas dengan alasan ini bukanlah jadwal check in Kereta Lodaya, tapi masih check in untuk kereta sebelumnya. Check in Kereta Lodaya dibuka sebentar lagi. Oke, Ane duduk-duduk santai terlebih dahulu di salah satu kursi yang tersedia di depan loket. Tak sampai 20 menit barulah Ane diperbolehkan untuk check in masuk kedalam.
Suasana masih sepi karena memang jadwal keberangkatan Kereta Lodaya masih sekitar 1 jam lagi. Tapi lama kelamaan banyak juga penumpang yang datang hingga akhirnya penumpang kereta Lodaya masuk gerbong semua. "Selamat tinggal Bandung, mungkin suatu saat nanti Ane datang lagi kesini", begitulah kira-kira bisikan dalam hati Ane. 2 kali sudah Ane menaiki kereta dan kedua-duanya mampu membuat Ane kagum, karena sekarang kereta api datang dan pergi sesuai dengan jadwal alias on time. Indonesia gitu loh, semoga keadaan ini bisa dipertahankan untuk selamanya. Keren!
Dari mobilitas yang Ane jalani, baru pertama kali ini Ane menaiki kereta api dengan kelas bisnis. Dibanding kelas ekonomi kereta api dengan kelas bisnis ini memang lebih nyaman dan fasilitasnya lebih yahuuud. Jarak kursinya ituloh agak berjauhan sehingga sepanjang perjalanan Ane benar-benar merasakan kenyamanan. Iyalah kalau orang jawa bilang "eneng rego eneng rupo" kalau ditranslate kan kedalam bahasa jawa mempunyai arti "Ada harga ada rupa".
Tapi dalam hal tidur senyaman-nyamannya seseorang dalam perjalanan tentu lebih nyaman tidur di rumah sendiri walau dalam kondisi rumah berantakan sekalipun, nyaman akan bau bantalnya dan juga nyaman akan air ilernya, hehehe. Beberapa kali Ane berusaha memejamkan mata tapi ya tidak seenak memejamkan mata di kamar tidur sendiri, beberapa kali Ane harus terbangun. Hingga akhirnya kereta api sampai di Stasiun Yogyakarta sekitar pukul 3 pagi.
Disatu sisi Ane senang disisi lainnya Ane bingung. Senangnya sampai di Kota Jogja dengan selamat, sedangkan bingungnya tak ada yang menjemput. Pasalnya adik Ane suruh Ane jemput, dia tidak berani karena masih terlalu kepagian dan juga pintu gerbangnya masih dalam keadaan terkunci. Alhasil nimbang-menimbang akhirnya Ane memutuskan untuk jalan kaki saja dari Stasiun Yogyakarta ke kost adik Ane sejauh kurang lebih 4,5 Km. Hitung-hitung mengetes daya tahan tubuh apakah masih mampu berjalan dalam jarak yang cukup lumayan. Pernah sieh Ane berjalan kaki sejauh 17,5 Km tapi itu beda berjalannya dalam rangka mendaki gunung yang tentunya berjalan mendaki gunung itu lebih mengasyikkan karena pemandangan yang tersaji sungguh indah. Lha kalau di kota? hmmmm.
Bersyukur Ane sampai di kost adik Ane sekitar jam 5 pagi dengan selamat. Sampai kost ya tidur dan mulai besok Ane menjalankan rutinitas sehari-hari lagi.
Tugu Asia Afrika |
Selasa - Kamis : 08.00 - 16.00 WIB
Jum'at : 14.00 - 16.00 WIB
Sabtu - Minggu : 09.00 - 16.00 WIB
Istirahat : 12.00 - 13.00 WIB
Senin dan Libur Nasional : Libur
Setelah membuka pintu masuk, seorang petugas keamanan gedung (satpam) menyambut Ane dengan ramah. Perlakuan yang sama pun Ia berikan kepada pengunjung-pengunjung lainnya. Sebelum menjelajah semua isi ruangan, Ane diarahkan terlebih dahulu oleh beliau ke meja registrasi yang berada di sisi kiri. Ane kira untuk masuk kedalam museum ini ada biaya yang dikenakan kepada setiap pengunjung, ternyata tidak untuk masuk kedalam pengunjung tak dikenai biaya sepeser pun alias gratis. Hanya saja Ane disuruh mengisi buku tamu yang tersedia cukup menuliskan nama dan asal Ane.
Penjelajahan Ane mulai dari ruang pamer tetap. Hal pertama yang menarik perhatian Ane adalah diorama yang menggambarkan situasi pembukaan Konperensi Asia Afrika 1955 oleh Presiden Soekarno. Walau usia kemerdekaan Indonesia masih terbilang cukup muda tapi betapa hebatnya Indonesia di masa itu karena organisasi bertaraf internasional di gelar di Bandung, tak hanya sebagai penonton saja tapi juga sebagai inisiator.
Ruang pamer tetap Museum Konferensi Asia Afrika |
Bergerak ke sisi sebelah kanannya, terdapat peninggalan meja dan kursi yang pernah digunakan saat KAA, berbagai macam alat ketik kuno yang diletakkan didalam tabung kaca berbentuk persegi, serta foto-foto yang menggambarkan saat digunakan alat-alat tersebut. Selain alat-alat ketik kuno, museum ini menyimpan koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Konperensi Asia Afrika 1955.
Konferensi Asia Afrika adalah suatu babakan baru dalam sejarah dunia, dimana pemimpin-pemimpin bangsa Asia dan Afrika berkumpul dinegerinya sendiri untuk merundingkan dan mempertimbangkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama serta untuk menumbuhkan solidaritas Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika dilaksanakan ditengah-tengah berkecamuknya antagonis Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Konferensi Asia Afrika pun berlangsung dalam suasana pergolakan dunia yang disebabkan oleh masih adanya penjajahan terutama di belahan bumi Asia dan Afrika, serta politik diskriminasi ras (apartheid) yang masih membayangi Afrika terutama di Afrika Selatan. Ditengah-tengah situasi seperti itulah bangsa Indonesia tampil memprakarsai diadakannya Konferensi Asia Afrika dimana bangsa tersebut baru berusia sepuluh tahun merdeka (Sumber: Sebuah catatan di Museum KAA).
Konferensi Asia-Afrika dihadiri oleh ketua delegasi dari berbagai negara tentu hanya dalam lingkup benua Asia dan Afrika saja. Diantaranya Sardar Mohammad Naim (Menlu Afghanistan), U Nu (Perdana Menteri Birma), Kojo Botsio (Menteri Negara Pantai Emas), Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Ali sastroamidjojo (Perdana Menteri Indonesia), dan lain sebagainya.
Tak henti-hentinya Ane membaca setiap tulisan yang ada didalam ruangan ini, Ane sungguh kagum dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Betapa tidak bangsa yang kala itu masih berusia muda tapi sudah bisa menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa lain didunia. Dari hasil pertemuan Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan pada tanggal 18-24 April di Bandung ini menghasilkan 10 poin yang dikenal dengan Dasasila Bandung. Didalam museum, Dasasila Bandung ditulis kedalam 29 bahasa.
Dasasila Bandung yang ditulis kedalam 29 bahasa |
Versi Bahasa Indonesianya |
Enlarger/Alat pencetak foto |
Surat kabar dari berbagai negara |
Ruang pamer tetap Museum Konferensi Asia Afrika |
Ruang pamer tetap Museum Konferensi Asia Afrika |
Foto-foto pemrakarsa Gerakan Non Blok |
Kebetulan ada seorang penjaga keamanan yang sedang duduk-duduk santai dibelakang. Ane bertanya kepada beliau apakah iya tempat ini yang dahulu digunakan untuk konferensi dan dia mengatakan bahwa memang benar tempat ini masih asli yang dahulu pada tahun 1955 digunakan sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Pantas saja berada diruangan ini Ane merasakan betapa kuatnya kepercayaan diri serta visi dan misi bangsa Indonesia yang menembus batas zamannya.
Beruntung diruangan ini suasana masih sepi dan hanya ada Ane dan beberapa pengunjung saja maka dari itu Ane bisa menikmati ruangan ini dengan sangat puas mulai dari duduk-duduk cantik disalah satu kursi (pumpung bisa mungkin 1000 tahun lagi kursi ini sudah tak ada, jika adapun mungkin sudah diganti), narsis didepan meja pimpinan Konferensi Asia Afrika, hingga narsis didepan gong perdamaian Asia Afrika ke-50.
Narsis didepan Meja pimpinan Konferensi Asia Afrika |
Narsis didepan Gong perdamaian Asia Afrika ke-50 |
Meninggalkan museum lantas Ane bergegas menuju Alun-alun Bandung tepatnya di Jl. Dalem Kaum untuk mencari angkot yang menuju ke Stasiun Kiaracondong. Ane harus kesini karena di Jalan Dalem Kaum inilah banyak bersliweran angkot-angkot dari berbagai jurusan. Tepat adzan maghrib berkumandang Ane sampai juga di Stasiun Kiaracondong. Dari Alun-alun Bandung sampai di Stasiun Kiaracondong ini Ane dikenai tarif angkot sebesar 5k saja. Sebenarnya untuk kelas bisnis Ane bisa saja naik dari Stasiun Bandung, tapi karena kesalahan dalam membeli tiket ya Ane mau tidak mau harus naik dari Stasiun Kiaracondong.
Okelah tidak apa-apa, begitu sampai dengan PeDenya Ane langsung check in. Ealah ternyata tidak diperbolehkan oleh petugas dengan alasan ini bukanlah jadwal check in Kereta Lodaya, tapi masih check in untuk kereta sebelumnya. Check in Kereta Lodaya dibuka sebentar lagi. Oke, Ane duduk-duduk santai terlebih dahulu di salah satu kursi yang tersedia di depan loket. Tak sampai 20 menit barulah Ane diperbolehkan untuk check in masuk kedalam.
Suasana masih sepi karena memang jadwal keberangkatan Kereta Lodaya masih sekitar 1 jam lagi. Tapi lama kelamaan banyak juga penumpang yang datang hingga akhirnya penumpang kereta Lodaya masuk gerbong semua. "Selamat tinggal Bandung, mungkin suatu saat nanti Ane datang lagi kesini", begitulah kira-kira bisikan dalam hati Ane. 2 kali sudah Ane menaiki kereta dan kedua-duanya mampu membuat Ane kagum, karena sekarang kereta api datang dan pergi sesuai dengan jadwal alias on time. Indonesia gitu loh, semoga keadaan ini bisa dipertahankan untuk selamanya. Keren!
Dari mobilitas yang Ane jalani, baru pertama kali ini Ane menaiki kereta api dengan kelas bisnis. Dibanding kelas ekonomi kereta api dengan kelas bisnis ini memang lebih nyaman dan fasilitasnya lebih yahuuud. Jarak kursinya ituloh agak berjauhan sehingga sepanjang perjalanan Ane benar-benar merasakan kenyamanan. Iyalah kalau orang jawa bilang "eneng rego eneng rupo" kalau ditranslate kan kedalam bahasa jawa mempunyai arti "Ada harga ada rupa".
Tapi dalam hal tidur senyaman-nyamannya seseorang dalam perjalanan tentu lebih nyaman tidur di rumah sendiri walau dalam kondisi rumah berantakan sekalipun, nyaman akan bau bantalnya dan juga nyaman akan air ilernya, hehehe. Beberapa kali Ane berusaha memejamkan mata tapi ya tidak seenak memejamkan mata di kamar tidur sendiri, beberapa kali Ane harus terbangun. Hingga akhirnya kereta api sampai di Stasiun Yogyakarta sekitar pukul 3 pagi.
Disatu sisi Ane senang disisi lainnya Ane bingung. Senangnya sampai di Kota Jogja dengan selamat, sedangkan bingungnya tak ada yang menjemput. Pasalnya adik Ane suruh Ane jemput, dia tidak berani karena masih terlalu kepagian dan juga pintu gerbangnya masih dalam keadaan terkunci. Alhasil nimbang-menimbang akhirnya Ane memutuskan untuk jalan kaki saja dari Stasiun Yogyakarta ke kost adik Ane sejauh kurang lebih 4,5 Km. Hitung-hitung mengetes daya tahan tubuh apakah masih mampu berjalan dalam jarak yang cukup lumayan. Pernah sieh Ane berjalan kaki sejauh 17,5 Km tapi itu beda berjalannya dalam rangka mendaki gunung yang tentunya berjalan mendaki gunung itu lebih mengasyikkan karena pemandangan yang tersaji sungguh indah. Lha kalau di kota? hmmmm.
Bersyukur Ane sampai di kost adik Ane sekitar jam 5 pagi dengan selamat. Sampai kost ya tidur dan mulai besok Ane menjalankan rutinitas sehari-hari lagi.