Selepas dari Pura Tirta Empul, Ane lanjutkan kembali perjalanan Ane menuju ke sebuah pura yang letaknya tidak jauh dari sini, Pura tersebut bernama Pura Gunung Kawi. Ane tahu info tentang tempat ini dari TV. Saat itu Ane lagi santai-santai di rumah dan saat melihat acara berita di televisi Ane disuguhkan dengan berita tentang tempat ini. Headline dari berita tersebut adalah "Pura Gunung Kawi, Petranya Indonesia".
Dari layar TV tersebut dapat Ane saksikan kalau pura ini berbeda dengan pura lain yang ada di Bali yaitu ada semacam pahatan ditebing batu. "Sementara Petra sendiri juga demikian", katanya. Soalnya Ane sendiri belum pernah kesana, jadi ya Ane percaya aja. Nah dari sinilah rasa penasaran Ane muncul, Ya inginnya sieh lihat Petranya terlebih dahulu namun hal itu untuk sekarang tak mungkin Ane laksanakan. Karena Pura Gunung Kawi masih berada di wilayah Indonesia tepatnya di Bali maka tempat inilah yang mungkin masih bisa Ane kunjungi.
Benar saja, pada tanggal 30 September 2016 akhirnya Ane mengunjunginya. Dari Pura Tirta Empul, Ane bergerak kearah selatan searah dengan jalan menuju pulang. Hingga akhirnya ditengah jalan Ane membaca plank yang bertuliskan Pura Gunung Kawi (menunjuk kearah kiri). Ane ikuti arah tersebut, disamping kanan dan kiri banyak terdapat toko-toko penjual souvernir khas Bali. Sementara didepan Ane melihat segerombolan orang yang sedang berdiri sambil menyematkan sesuatu, ternyata orang-orang tersebut adalah para petugas parkir.
Setelah membayar 2k, Ane diberitahu oleh petugas parkir bahwa parkir kendaraan roda 2 ada didepan loket dan bukan di area sini. "Area sini hanya untuk kendaraan roda empat", katanya. Berbekal dari informasi tersebut Ane pacu kuda hijau Ane kembali menuju sana. Tak lama kemudian sampailah Ane di tempat parkirnya.
Parkir ini memang berada tepat didepan loket. Selain itu disini juga terdapat sebuah batu besar berisi tulisan berwarna keemasan. Bunyinya sebagai berikut. Situs Gunung Kawi berada di wilayah Desa Tampaksiring, berupa bangunan suci pedharman (kuil) dari raja-raja Bali kuno berfungsi sebagai tempat pertapaan dan petirtaan, diduga dibangun pada abad ke-11 Masehi berdasarkan data arkeologi berupa tulisan bertipe kadiri kwadrat pada ambang pintu candi berbunyi "haji lumah ing jalu" yang berarti beliau yang didharmakan di jalu (jalu = Pakerisan) dan "rwa anak ira" yang diartikan dua anak beliau (dua putra Udayana yang berkuasa di Bali yaitu Marakata dan Anak Wungsu pada abad 11 Masehi).
Untuk memasuki pura ini, Ane diharuskan membayar tiket masuk sebesar 15k. Setelah membayarnya kini Ane dapat memulai perjalanan mengeksplorer seluruh isi pura. Baru beberapa langkah dari loket, Ane sudah dienakkan dengan jalan yang ada. Jalan turunan berupa anak tangga namun sudah di semen serta diberi pegangan tangan berasal dari besi.
Sebelumnya disini terdapat penyewaan sarung Bali dan selendangnya. Berhubung Ane tadi sudah beli keduanya di Pura Tirta Empul maka Ane tak perlu menyewanya lagi. Diujung tangga ini terdapat sungai yang mengalir dari hulu ke hilir dan pemandangan pun kini berubah yang awalnya berupa perkebunan berganti dengan tanaman padi yang cukup hijau.
Ditengah hijaunya tanaman padi tersebut, ada sebuah pemandangan yang biasa Ane temui di Bali yaitu gadis-gadis kecil berkepang dua. Nampaknya mereka sedang melihat-lihat sesuatu di salah satu toko souvernir. Ntah apa yang dilihatnya yang jelas bukan jajanan ringan yang biasa dijual di sekolah-sekolah.
Langkah demi langkah Ane tapaki, tak ada jalan yang menanjak sama sekali yang ada hanyalah jalan landai dan turunan semata. Iya, kalau begitu jalan ini akan terasa berat saat Ane pulang nanti (siap-siap tenaga ekstra). Sama seperti saat menuju loket, disepanjang perjalanan ini juga banyak Ane jumpai para pedagang yang menjual barang dagangannya. Ada yang menjual sarung Bali, selendang, bahkan air mineral.
Semakin ke bawah jalan setapak yang Ane lewati semakin menarik. Awalnya Ane dapat melihat hijaunya tanaman padi, kini disamping kanan dan kiri Ane dapat melihat tebing-tebing batu yang cukup tinggi. Diujung jalan ini terdapat sebuah pintu berasal dari batu. Setelah Ane melewatinya Ane dihadapkan dengan sebuah jembatan yang melintasi sungai serta papan petunjuk yang mengarah ke berbagai tempat penting. Menurut tulisan yang Ane baca dibatu besar tadi bahwa jembatan ini melintasi sungai bernama Sungai Pakerisan.
Bila kekiri maka Ane akan sampai di Pura Kawan dan Candi Prasadha Ukir, dan bila kearah kanan maka Ane akan menyeberangi sungai dan sampai di Pura Puncak Gunung Kawi, Pura Taman Suci, Pura Melanting, dan Pura Gunung Kawi. Disini Ane memutuskan untuk belok kearah kiri terlebih dahulu. "Sepertinya kearah kiri lebih dekat", fikirku.
Inilah sob ukiran-ukiran didinding tebing yang Ane saksikan waktu itu. Ada 4 gugusan candi yang ada disini. Sungguh indah dan unik memang ukiran-ukiran tersebut. Apalagi dengan hadirnya sebuah pura yang ada di bagian bawahnya menambah nilai plus tersendiri bagi candi ini. Mungkin inilah yang dimaksud dengan Pura Kawan itu.
Puas melihat candi-candi ini, lantas Ane bergegas kembali ketempat tadi dan menyeberangi sungai untuk menuju ke bagian timur. Setelah menyeberang, Ane dihadapakan lagi dengan sebuah pertigaan jalan. Bila kearah kiri maka akan sampai di Candi Prasadha Ukir lagi , Tirta Kama Sakti dan Tirta Surya dan bila kearah kanan maka akan sampai di kompleks pura.
Nampaknya Candi Prasadha Ukir ini tak hanya berada dibagian barat sungai, tetapi juga berada dibagian timur sungai. Setelah Ane sampai ternyata benar ukiran yang ada tak berbeda jauh, yang berbeda hanyalah dari segi jumlah gugusan candinya saja. Disini terdapat 5 buah gugusan candi.
Menurut Ane jalan ini sudah mentok, lalu dimanakah kedua tempat yang Ane baca disebuah plank tadi berada (Tirta Kama Sakti dan Tirta Surya)? yang Ane lihat dibagian ujung (sebelah utara) hanyalah air jatuh ketanah dengan volume kecil, sedangkan dibagian kiri (barat) sebuah aliran sungai yang mempunyai air cukup jernih. Pas juga sieh bila untuk nongkrong soalnya sudah ada tempat nongkrong di tebingnya.
Menurut tulisan yang Ane baca dari sebuah batu besar yang terletak di depan loket masuk tadi bahwa di Bukit Gundul terdapat gugusan candi yang kesepuluh dan goa-goa pertapaan. Dimanakah letak itu? Ane tak tahu persis dimana letaknya, tak ada papan petunjuk yang menunjukkan kearah tersebut yang ada hanyalah papan petunjuk yang mengarahkan ke komplek-kompleks pura.
Alhasil, setelah mengunjungi candi-candi ini Ane bergerak menyusuri kompleks pura-pura tersebut. Terlihat sudah ada banyak para pengunjung yang datang, mayoritas semuanya wisatawan mancanegara (bule-bule). Tak seorang pun Ane melihat wisatawan domestik, kecuali yang menjadi pemandu wisata bagi para bule-bule tersebut.
Tiba-tiba disisi timur pura Ane diherankan dengan sebuah pemandangan yang tak biasa, Ane melihat banyak alas kaki yang tergeletak bagaikan tak bertuan. Setelah Ane dekati ternyata ada sebuah tempat masuk kedalam dan mengharuskan bagi siapa saja yang ingin masuk harus mencopot alas kakinya. Penasaran donk Ane dengan tempat tersebut, sebenarnya ada apa sieh didalam itu. Masuklah Ane kedalam, jalannya cukup kecil, kadang Ane harus mengalah bila berpapasan dengan pengunjung lain, dan owalah ini tow pemandangan yang ada.
Dibagian dinding terdapat lubang-lubang persegi yang cukup besar. Melihat area ini Ane teringat akan tulisan yang ada di batu tadi bahwa tempat inilah yang dahulu digunakan sebagai tempat pertapaan dan petirtaan. Tempat ini dikelilingi hutan dan terkesan angker. Apalagi ada sebuah lobang persegi panjang yang didalamnya itu ada semacam makam yang diberi kain berwarna kuning, Hiii serem.
Lantas dimanakah candi yang kesepuluh itu berada? Ah, ntahlah Ane tak melihatnya. Keluar dari tempat ini, Ane melanjutkan perjalanan lagi menuju kearah selatan. Masih tetap sama, pemandangan yang ada hanyalah pura-pura semata. Dari sekian pura-pura yang ada di Bali, Pura Gunung Kawi ini menurut Ane wajib untuk dikunjungi karena keindahan dan keunikan yang Ia miliki.
Benar saja, pada tanggal 30 September 2016 akhirnya Ane mengunjunginya. Dari Pura Tirta Empul, Ane bergerak kearah selatan searah dengan jalan menuju pulang. Hingga akhirnya ditengah jalan Ane membaca plank yang bertuliskan Pura Gunung Kawi (menunjuk kearah kiri). Ane ikuti arah tersebut, disamping kanan dan kiri banyak terdapat toko-toko penjual souvernir khas Bali. Sementara didepan Ane melihat segerombolan orang yang sedang berdiri sambil menyematkan sesuatu, ternyata orang-orang tersebut adalah para petugas parkir.
Setelah membayar 2k, Ane diberitahu oleh petugas parkir bahwa parkir kendaraan roda 2 ada didepan loket dan bukan di area sini. "Area sini hanya untuk kendaraan roda empat", katanya. Berbekal dari informasi tersebut Ane pacu kuda hijau Ane kembali menuju sana. Tak lama kemudian sampailah Ane di tempat parkirnya.
Parkir ini memang berada tepat didepan loket. Selain itu disini juga terdapat sebuah batu besar berisi tulisan berwarna keemasan. Bunyinya sebagai berikut. Situs Gunung Kawi berada di wilayah Desa Tampaksiring, berupa bangunan suci pedharman (kuil) dari raja-raja Bali kuno berfungsi sebagai tempat pertapaan dan petirtaan, diduga dibangun pada abad ke-11 Masehi berdasarkan data arkeologi berupa tulisan bertipe kadiri kwadrat pada ambang pintu candi berbunyi "haji lumah ing jalu" yang berarti beliau yang didharmakan di jalu (jalu = Pakerisan) dan "rwa anak ira" yang diartikan dua anak beliau (dua putra Udayana yang berkuasa di Bali yaitu Marakata dan Anak Wungsu pada abad 11 Masehi).
Untuk memasuki pura ini, Ane diharuskan membayar tiket masuk sebesar 15k. Setelah membayarnya kini Ane dapat memulai perjalanan mengeksplorer seluruh isi pura. Baru beberapa langkah dari loket, Ane sudah dienakkan dengan jalan yang ada. Jalan turunan berupa anak tangga namun sudah di semen serta diberi pegangan tangan berasal dari besi.
Tiket masuk pura |
Jalan turunan menuju Pura Gunung Kawi |
Ditengah hijaunya tanaman padi tersebut, ada sebuah pemandangan yang biasa Ane temui di Bali yaitu gadis-gadis kecil berkepang dua. Nampaknya mereka sedang melihat-lihat sesuatu di salah satu toko souvernir. Ntah apa yang dilihatnya yang jelas bukan jajanan ringan yang biasa dijual di sekolah-sekolah.
Langkah demi langkah Ane tapaki, tak ada jalan yang menanjak sama sekali yang ada hanyalah jalan landai dan turunan semata. Iya, kalau begitu jalan ini akan terasa berat saat Ane pulang nanti (siap-siap tenaga ekstra). Sama seperti saat menuju loket, disepanjang perjalanan ini juga banyak Ane jumpai para pedagang yang menjual barang dagangannya. Ada yang menjual sarung Bali, selendang, bahkan air mineral.
Semakin ke bawah jalan setapak yang Ane lewati semakin menarik. Awalnya Ane dapat melihat hijaunya tanaman padi, kini disamping kanan dan kiri Ane dapat melihat tebing-tebing batu yang cukup tinggi. Diujung jalan ini terdapat sebuah pintu berasal dari batu. Setelah Ane melewatinya Ane dihadapkan dengan sebuah jembatan yang melintasi sungai serta papan petunjuk yang mengarah ke berbagai tempat penting. Menurut tulisan yang Ane baca dibatu besar tadi bahwa jembatan ini melintasi sungai bernama Sungai Pakerisan.
Jembatan diatas Sungai Pakerisan |
Papan petunjuk yang mengarah ke berbagai tempat penting |
Inilah sob ukiran-ukiran didinding tebing yang Ane saksikan waktu itu. Ada 4 gugusan candi yang ada disini. Sungguh indah dan unik memang ukiran-ukiran tersebut. Apalagi dengan hadirnya sebuah pura yang ada di bagian bawahnya menambah nilai plus tersendiri bagi candi ini. Mungkin inilah yang dimaksud dengan Pura Kawan itu.
Gugusan 4 candi yang terletak ditebing barat Sungai Pakerisan |
Candi Prasadha Ukir |
Pura Kawan |
Nampaknya Candi Prasadha Ukir ini tak hanya berada dibagian barat sungai, tetapi juga berada dibagian timur sungai. Setelah Ane sampai ternyata benar ukiran yang ada tak berbeda jauh, yang berbeda hanyalah dari segi jumlah gugusan candinya saja. Disini terdapat 5 buah gugusan candi.
Gugusan 5 candi yang terletak ditebing timur Sungai Pakerisan |
Josss |
Menurut tulisan yang Ane baca dari sebuah batu besar yang terletak di depan loket masuk tadi bahwa di Bukit Gundul terdapat gugusan candi yang kesepuluh dan goa-goa pertapaan. Dimanakah letak itu? Ane tak tahu persis dimana letaknya, tak ada papan petunjuk yang menunjukkan kearah tersebut yang ada hanyalah papan petunjuk yang mengarahkan ke komplek-kompleks pura.
Alhasil, setelah mengunjungi candi-candi ini Ane bergerak menyusuri kompleks pura-pura tersebut. Terlihat sudah ada banyak para pengunjung yang datang, mayoritas semuanya wisatawan mancanegara (bule-bule). Tak seorang pun Ane melihat wisatawan domestik, kecuali yang menjadi pemandu wisata bagi para bule-bule tersebut.
Salah satu bule yang sedang berpose layaknya orang beribadah di pura |
Tuh kan bule semua! |
Ini juga |
Dibagian dinding terdapat lubang-lubang persegi yang cukup besar. Melihat area ini Ane teringat akan tulisan yang ada di batu tadi bahwa tempat inilah yang dahulu digunakan sebagai tempat pertapaan dan petirtaan. Tempat ini dikelilingi hutan dan terkesan angker. Apalagi ada sebuah lobang persegi panjang yang didalamnya itu ada semacam makam yang diberi kain berwarna kuning, Hiii serem.
|
|
|
Itu yg tirta kama sakti & tirta surya, mungkin air yg mengalir disitu mas. Secara kan tirta artinya air.
BalasHapusEh, tempat tinggalku di Kawi lho mas. Tapi kota Semarang :D
Iya kali ya mbak? habis nggak ada papan namanya sieh,,,
HapusHahahaha,,,, hasyem, aku punya teman malah di Ngawi mbak, hehehe
Waah... kok bisa ada tulisan emas ya di batu.
BalasHapusKurang tahu juga mas Mirwan,,, mungkin agar terlihat lebih mewah mungkin ya... :-)
Hapusmas, aku ngebayangin panasnya bali, trs disuruh naik tangga curam begitu, hahahahaha... bendera putih deh :D.. itu mungkin ya yg bikin wisatawan domestiknya ga ada :D
BalasHapusBisa jadi mbak, juga karena tempat ini belum begitu dikenal mbak,,,, jadi ya kebanyakan wiman yang datang, :-)
Hapus