Perjalanan kesini sebenarnya tidak Ane rencanakan sebelumnya sob, Ane hanya merencanakan perjalanan hari ini menuju Danau Batur dan Terunyan saja. Secara, tempat ini cukup jauh dari Kota Denpasar sehingga tak mungkin Ane mengeksplorer banyak tempat. Tapi, berhubung hari masih siang walaupun agak sore dan jalan menuju Desa Penglipuran searah dengan jalan menuju Danau Batur maka akhirnya Ane putuskan untuk mampir kesini.
Ane mengawali perjalanan dari Danau Batur, melewati Panelokan Kintamani dan terus berlanjut menuju Kota Bangli. Jalan yang Ane lewati ini sama dengan jalan yang Ane lewati saat berangkat. Ditengah perjalanan sebelum memasuki Kota Bangli, Ane tak sengaja melihat sebuah plank yang mengarah kekanan (bila dari arah Kota Bangli maka belok kearah kiri) bertuliskan "Desa Penglipuran", maka Ane ikuti plank tersebut.
Jalan menuju kesini terbilang mulus tanpa hambatan, jalannya beraspal dengan disamping kanan dan kiri berdiri rumah-rumah penduduk berasitektur khas Bali. Lega rasanya saat Ane menemukan sebuah gapura Candi Bentar bertuliskan "Desa Penglipuran". Dibagian depan gapura tersebut berdiri 6 buah patung yang sedang memainkan beberapa alat musik, ada yang mengendang, menyuling, dan sebagainya. Ane masih tetap berjalan hingga beberapa saat mendekati desanya, tanpa Ane duga Ane dicegat oleh dua orang yang bertugas menarik retribusi tiket masuk. Disini Ane harus membayar 10k. Namun sayang saat Ane meminta tiketnya mereka bilang nggak usah dan bilang saja nanti kalau Ane sudah bayar.
Benar saja sesampainya di gapura masuk bertuliskan "Desa Tradisional Penglipuran", Ane ditanyai oleh beberapa petugas. Apakah Ane sudah membayar atau belum, dan Ane pun bilang kalau Ane sudah membayarnya, kemudian Ane dipersilahkan untuk masuk. Layaknya sebuah obyek wisata, Desa Tradisional Penglipuran ini sudah terkelola cukup baik. Lahan parkir yang sangat luas sehingga mampu menampung banyak kendaraan, sebuah peta yang tergambar jelas di papan, bangunan wantilan yang cukup besar, hingga kebersihannya yang sangat luar biasa bersih.
Iya lho sob, kesan pertama Ane ketika menginjakkan kaki disini adalah desa yang rapi nan bersih. Jalannya terbuat dari batu-batu kecil yang ditata sehingga enak diinjak oleh kaki dan terasa nayaman. Dari tempat parkir, Ane harus berjalan kaki masuk kedalam. Setelah mentok, Ane terpesona dengan pemandangan yang ada. Disetiap rumah terdapat janur yang melengkung mengarah ke jalan. Walaupun Ane belum pernah kesini tapi Ane merasa tak asing dengan tempat ini. Ya, desa ini sudah sering dijadikan lokasi syuting dalam pembuatan Film FTV sehingga Ane sudah pernah melihat sebelumnya.
Di pentokan ini terdapat beberapa plank yang menunjukkan ke berbagai macam tempat yakni ke bamboo forest (hutan bambu), Karang memadu, dan Tugu Pahlawan. Tak hanya tempatnya saja yang tertulis, tetapi juga jaraknya bila diukur dari sini. Sepertinya tempat-tempat tersebut cukup menarik untuk dikunjungi, maka dari itu mulai dari sini Ane berniat untuk mengunjunginya.
Dari pentokan ini Ane bergerak kearah kiri (selatan), Ane mulai menatapi satu persatu rumah-rumah penduduk. Semua rumah terlihat seragam tapi tak sama. Setiap rumah memiliki sebuah pintu gerbang yang belakangan baru Ane ketahui bernama angkul-angkul. Pintu gerbang ini tak lebar hanya memuat satu orang dewasa. Di salah satu penyangga pintu gerbang terpasang nomor rumah. Kalau tidak salah semua rumah yang ada didesa ini berjumlah 72.
Diujung selatan rumah terdapat sebuah tulisan berbunyi,"Karang Memadu". Ane tak tahu tempat apa ini, yang Ane lihat Karang memadu ini adalah berupa lahan kosong tanpa penghuni. Ditengah rasa penasaran Ane, kebetulan ada seorang warga yang sedang melintas. Ane pun bertanya kepada beliau, dari keterangan beliau Ane ketahui bahwa karang memadu ini adalah tempat untuk mengucilkan seseorang dari desa terutama seorang pria yang melakukan poligami. Sepertinya wanita didesa ini keberadaannya sangat dihormati sehingga muncullah ketentuan adat yang seperti itu.
Beranjak dari karang memadu, Ane bergerak lagi kearah selatan. Diujung selatan ini terdapat sebuah monumen yang cukup penting bagi warga penglipuran, monumen tersebut bernama Tugu pahlawan. Berbeda dengan suasana desanya yang tampak ramai, suasana yang ada ditempat ini justru sebaliknya yaitu sepi dan tak seorangpun yang mengunjunginya.
Dibagian pintu masuknya terlihat dibiarkan terbuka tak terkunci. Ane fikir kalau begitu keadaannya, setiap pengunjung diperbolehkan untuk masuk. Masuklah Ane kedalam. Walaupun berupa monumen, namun kebersihannya tak perlu diragukan lagi. Rumputnya pendek terawat dengan rapi dan jalan setapak yang terbuat dari semen.
Sesampainya di bagian utara taman, hati Ane berkata,"Owalah ini tow monumennya!". Dibagian depan (selatan) terdapat tiang bendera yang menjulang keatas; dibagian kiri (barat) terdapat sebuah pohon beringin besar dengan bagian bawahnya terlilit kain kotak-kotak khas Bali dan dilengkapi dengan sebuah batu bertuliskan,"Merdeka seratus persen", serta makam-makam pahlawan yang telah gugur berjajar dengan rapi.
Puas menjelajah isi taman Ane kembali lagi ke tempat semula, tempat dimana rumah-rumah warga berada. Sesampainya di rumah-rumah warga, kini saatnya Ane menjelajah di bagian utara desa. Ada apakah gerangan disana? bangunan yang pertama Ane lihat adalah sebuah pura bernama Pura Penataran. Namun sayang, pintu pura tersebut dalam keadaan tertutup. Itu artinya pura ini tak boleh dimasuki oleh pengunjung.
Untuk sampai di pura ini, Ane harus melalui beberapa anak tangga terlebih dahulu. Dibagian depan pura sebelah kiri terdapat sebuah bangunan bale dan jalan setapak. Tak jarang para pengunjung yang lelah berhenti sejenak di balai ini. Sedangkan dibagian kanan pura terdapat sebuah pura lagi yang juga tertutup, pura tersebut bernama Pura Puseh.
Berhubung hari sudah semakin petang, Ane memilih untuk terus melanjutkan perjalanan lagi. Jalan yang Ane pilih kekanan dulu, Ane kira disini hanya ada dua buah bangunan pura saja. Ternyata tidak, selepas melewati Pura Puseh masih ada dua buah pura lagi yaitu Pura Rambut Sri Sedana dan Pura Dukuh. Disini Ane bingung sob dengan bangunan Pura Rambut Sri Sedana, pasalnya disamping tulisan pura tersebut hanya terdapat dua buah patung kecil yang sedang memegang sesuatu dan ditengah-tengah bagian belakangnya terdapat sebuah batu yang cukup kecil seperti prasasti. Apakah masuk kedalam hutan, ataukah memang benda-benda itu? Ntahlah, yang jelas begitulah bunyi tulisan yang ada disitu. Kalau bangunan Pura Dukuh tow terlihat jelas, bangunannya cukup kecil dengan dua buah patung harimau tampak garang memperlihatkan gigi-giginya.
Lanjut lagi, setelah melewati bagian samping dan belakang pura, Ane melihat sebuah plank yang mengarah ke hutan bambu. Plank tersebut mengarah kekanan (utara). Beloklah Ane kesitu, dan beberapa menit kemudian sampailah Ane disebuah tempat bernama "Hutan bambu". Pohon-pohonnya tinggi dan lebat sehingga suasananya menjadi begitu sejuk hingga akhirnya Ane memutuskan untuk berhenti ketika sampai di sebuah persimpangan jalan. Bila kearah kanan ke Kota Bangli dan Kintamani, dan bila kearah kiri ke Tampaksiring dan Kintamani.
"Cukup sampai disini saja", fikirku. Setelah mengambil gambar dan berhenti sejenak, Ane kembali lagi menuju Desa Penglipuran. Tetapi sebelumnya, Ane mampir dahulu kekamar kecil. Tak hanya diluar saja yang bersih, didalam kamar kecilpun cukup bersih terawat dengan baik dan cesss air yang keluar dari mulut keran terasa dingin.
Setelah keperluan Ane selesai, Ane kembali lagi berjalan hingga menyusuri perumahan warga. Warga-warga disini nampaknya sudah sadar betul dengan keberadaan desanya yang sudah menjadi obyek wisata. Hal ini terlihat disetiap rumah-rumah menawarkan berbagai macam barang dagangan seperti souvernir khas Bali, makanan, dan minuman.
Loloh Cem-cem dan Tipat Cantok
Berbicara mengenai minuman, ada yang unik sob dengan desa ini yaitu hampir setiap warung menjual minuman bernama Loloh Cem-cem. Seperti apa sieh rasanya dari minuman tersebut? saking penasarannya akhirnya Ane memutuskan untuk mampir disalah satu warung milik warga setempat. Warga disini ramah-ramah, begitu Ane masuk kedalam warungnya sambutannya begitu hangat. Ane ditawari dengan beragam barang dagangannya mulai dari makan apa hingga minum apa. Disinilah Ane dan beliau terlibat percakapan yang panjang.
Ane : Ada loloh cem-cem Bu?
Beliau : Kebetulan lagi habis mas, mau yang lain?
Ane : La, saya penasaran ew Bu dengan minuman loloh cem-cem
Beliau : Eow, kalau begitu mari duduk dulu mas, saya carikan.
Ane : Baik Bu
Beliau : mau makan apa?
Ane : La yang tersedia apa aja ya Bu?
Ketika ibunya bilang tipat cantok, Ane langsung memilih makanan tersebut yang akan Ane santap. Soalnya Ane dari dulu sejak kedatangan Ane di Bali ingin sekali merasakan yang namanya tipat cantok, tetapi belum kesampaian.
Sang Ibu pun keluar mencarikan Ane minuman loloh cem-cem, dan tak lama kemudian dia kembali dengan membawakan sebuah botol kemasan air mineral yang berisi loloh cem-cem untuk Ane.
Ane : Owalah seperti ini tow Bu yang namanya loloh cem-cem itu.
Beliau : Iya mas
Loloh cem-cem ini Warnanya hijau alami sob seperti jus sayur yang terlihat pahit. Apakah benar begitu? Hmmm belum tahu, Ane buka terlebih dahulu. Begitu Ane buka, terdengar suara cesss dalam botol tersebut dan Sang Ibu pun mengatakan kalau loloh cem-cem yang baik harus seperti itu mengeluarkan bunyi cesss saat pertama kali dibuka. Anepun manggut-manggut saja. Ketika Ane cium, baunya seperti aroma tumbuhan.
Lalu bagaimanakah dengan rasanya? rasanya sangat unik sob, asam, manis, asin, dan sedikit pahit jadi satu. Merasa penasaran dengan darimana minuman ini berasal, Ane pun bertanya kepada beliau. Dia menjelaskan panjang lebar tentang minuman ini. Pada dasarnya loloh cem-cem berasal dari daun cemcem, dia memberitahu kepada Ane kalau seperti inilah daun cemcemnya.
Daun tersebut bisa dimakan secara langsung tanpa diolah. Dia sobek sedikit salah satu daunnya dan kemudian dia masukkan kedalam mulutnya, begitupula Ane yang ikut-ikutan memasukkan salah satu sobekan daun tersebut kedalam mulut Ane. Yang Ane rasakan adalah biasa saja sob sedikit pahit. Sementara untuk rasa asam, manis, dan asin dia menjelaskan kalau rasa-rasa tersebut timbul dari zat campurannya seperti buah asam, gula, dan garam. Minuman ini tidak mengandung bahan pengawet sehingga tidak bertahan lama.
Setelah menjelaskan tentang minuman ini, selanjutnya dia membuatkan Ane makanan yang Ane pesan tadi,"tipat cantok". Tak lama kemudian datanglah tipat cantok tersebut. Tipat cantok ini mirip dengan kupat tahu kalau di Jawa. Bahannya kecambah, daun bayam, tahu, dan kupat dilumuri dengan sambal kacang. Rasanya pun mirip bahkan sama dengan kupat tahu yang biasa Ane rasakan di Jawa.
Dia menjelaskan kalau tipat cantok itu ya memang sama dengan kupat tahu, tak ada banyak perbedaan. Mungkin lupa atau gimana ya sob, tiba-tiba dia mengulas lagi tentang loloh cem-cem. Loloh sendiri berarti jamu, sedangkan cem-cem ya cemcem. "Jadi loloh cemcem itu ya jamu cemcem", tukasnya.
Banyak hal yang dia ceritakan. Diakhir cerita beliau menjelaskan bahwa warga Desa Penglipuran yang terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli ini semuanya ramah-ramah. Kalau warga menawarkan untuk masuk ke rumahnya, maka masuk aja tak beli pun tak apa-apa. Selain itu bila pengunjung menginginkan untuk menginap disini, bisa karena disini sudah tersedia banyak homestay seperti misalnya dirumah saya. "Pokoknya kalau ke Bali, jangan lupa mampir kesini", titipnya.
Hari sudah semakin sore, itu artinya Ane untuk segera meninggalkan lokasi ini. Banyak hal yang dapat Ane petik disini. namun sayang perjalanan pulang menuju Kota Denpasar terbilang kurang begitu lancar. Arak-arakan masyarakat Bali yang akan beribadah, Ane temui saat keluar dari Kota Bangli. Mereka semua memakan setengah jalan, tampak para pecalang berjaga-jaga dan mengamankan jalannya para jamaah.
Ane tak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja, langsung saja Ane pinggirkan kuda hijau Ane dan Ane keluarkan kamera poket dari tas ransel. Ane foto berkali-kali dan inilah hasil terbaiknya. By The Way, Ane cukup kagum lho sob dengan para masyarakat Bali yang beragama Hindu, setiap akan beribadah mereka semua tampak bersih memakai pakaian yang bagus, selendang dan sarung tidak pernah ketinggalan.
Setelah mereka semua masuk halaman pura, Ane lanjutkan lagi perjalanan Ane hingga tak sengaja Ane membaca sebuah plank bertuliskan "Pura Dalem Jawa (Langgar)". Dibagian bawahnya terdapat tanda anak panah kekiri 75 meter. Tanda anak panah inilah yang membuat Ane penasaran, ada apakah gerangan disana dan seperti apakah puranya? berangkat dari rasa penasaran ini, beloklah Ane kearah kiri mengikuti plank tersebut. Sebenarnya sieh hari sudah sore, namun tak ada salahnya kan sob Ane untuk mampir sebentar. Tapi apa boleh buat, pemangku yang ada di pura ini sedang beribadah ke Pura yang Ane temui saat arak-arakan tadi.
"Dengan terpaksa Ane harus meninggalkan tempat ini dan mungkin lain waktu Ane akan kembali lagi kesini",fikirku. Syukur, setelah 1 jam berkendara sampailah Ane dengan selamat di penginapan Kota Denpasar.
Ane mengawali perjalanan dari Danau Batur, melewati Panelokan Kintamani dan terus berlanjut menuju Kota Bangli. Jalan yang Ane lewati ini sama dengan jalan yang Ane lewati saat berangkat. Ditengah perjalanan sebelum memasuki Kota Bangli, Ane tak sengaja melihat sebuah plank yang mengarah kekanan (bila dari arah Kota Bangli maka belok kearah kiri) bertuliskan "Desa Penglipuran", maka Ane ikuti plank tersebut.
Jalan menuju kesini terbilang mulus tanpa hambatan, jalannya beraspal dengan disamping kanan dan kiri berdiri rumah-rumah penduduk berasitektur khas Bali. Lega rasanya saat Ane menemukan sebuah gapura Candi Bentar bertuliskan "Desa Penglipuran". Dibagian depan gapura tersebut berdiri 6 buah patung yang sedang memainkan beberapa alat musik, ada yang mengendang, menyuling, dan sebagainya. Ane masih tetap berjalan hingga beberapa saat mendekati desanya, tanpa Ane duga Ane dicegat oleh dua orang yang bertugas menarik retribusi tiket masuk. Disini Ane harus membayar 10k. Namun sayang saat Ane meminta tiketnya mereka bilang nggak usah dan bilang saja nanti kalau Ane sudah bayar.
Benar saja sesampainya di gapura masuk bertuliskan "Desa Tradisional Penglipuran", Ane ditanyai oleh beberapa petugas. Apakah Ane sudah membayar atau belum, dan Ane pun bilang kalau Ane sudah membayarnya, kemudian Ane dipersilahkan untuk masuk. Layaknya sebuah obyek wisata, Desa Tradisional Penglipuran ini sudah terkelola cukup baik. Lahan parkir yang sangat luas sehingga mampu menampung banyak kendaraan, sebuah peta yang tergambar jelas di papan, bangunan wantilan yang cukup besar, hingga kebersihannya yang sangat luar biasa bersih.
Iya lho sob, kesan pertama Ane ketika menginjakkan kaki disini adalah desa yang rapi nan bersih. Jalannya terbuat dari batu-batu kecil yang ditata sehingga enak diinjak oleh kaki dan terasa nayaman. Dari tempat parkir, Ane harus berjalan kaki masuk kedalam. Setelah mentok, Ane terpesona dengan pemandangan yang ada. Disetiap rumah terdapat janur yang melengkung mengarah ke jalan. Walaupun Ane belum pernah kesini tapi Ane merasa tak asing dengan tempat ini. Ya, desa ini sudah sering dijadikan lokasi syuting dalam pembuatan Film FTV sehingga Ane sudah pernah melihat sebelumnya.
Inilah Desa Tradisional Penglipuran |
Josss! |
Dari pentokan ini Ane bergerak kearah kiri (selatan), Ane mulai menatapi satu persatu rumah-rumah penduduk. Semua rumah terlihat seragam tapi tak sama. Setiap rumah memiliki sebuah pintu gerbang yang belakangan baru Ane ketahui bernama angkul-angkul. Pintu gerbang ini tak lebar hanya memuat satu orang dewasa. Di salah satu penyangga pintu gerbang terpasang nomor rumah. Kalau tidak salah semua rumah yang ada didesa ini berjumlah 72.
|
|
|
|
Beranjak dari karang memadu, Ane bergerak lagi kearah selatan. Diujung selatan ini terdapat sebuah monumen yang cukup penting bagi warga penglipuran, monumen tersebut bernama Tugu pahlawan. Berbeda dengan suasana desanya yang tampak ramai, suasana yang ada ditempat ini justru sebaliknya yaitu sepi dan tak seorangpun yang mengunjunginya.
Candi bentar Tugu Pahlawan |
Sebuah balai yang ada di Taman Pahlawan |
Sesampainya di bagian utara taman, hati Ane berkata,"Owalah ini tow monumennya!". Dibagian depan (selatan) terdapat tiang bendera yang menjulang keatas; dibagian kiri (barat) terdapat sebuah pohon beringin besar dengan bagian bawahnya terlilit kain kotak-kotak khas Bali dan dilengkapi dengan sebuah batu bertuliskan,"Merdeka seratus persen", serta makam-makam pahlawan yang telah gugur berjajar dengan rapi.
Puas menjelajah isi taman Ane kembali lagi ke tempat semula, tempat dimana rumah-rumah warga berada. Sesampainya di rumah-rumah warga, kini saatnya Ane menjelajah di bagian utara desa. Ada apakah gerangan disana? bangunan yang pertama Ane lihat adalah sebuah pura bernama Pura Penataran. Namun sayang, pintu pura tersebut dalam keadaan tertutup. Itu artinya pura ini tak boleh dimasuki oleh pengunjung.
Yuk, capcus |
Papan nama Pura Penataran yang ada di Desa Tradisional Penglipuran |
Kori Agung Pura Penatarannya |
Berhubung hari sudah semakin petang, Ane memilih untuk terus melanjutkan perjalanan lagi. Jalan yang Ane pilih kekanan dulu, Ane kira disini hanya ada dua buah bangunan pura saja. Ternyata tidak, selepas melewati Pura Puseh masih ada dua buah pura lagi yaitu Pura Rambut Sri Sedana dan Pura Dukuh. Disini Ane bingung sob dengan bangunan Pura Rambut Sri Sedana, pasalnya disamping tulisan pura tersebut hanya terdapat dua buah patung kecil yang sedang memegang sesuatu dan ditengah-tengah bagian belakangnya terdapat sebuah batu yang cukup kecil seperti prasasti. Apakah masuk kedalam hutan, ataukah memang benda-benda itu? Ntahlah, yang jelas begitulah bunyi tulisan yang ada disitu. Kalau bangunan Pura Dukuh tow terlihat jelas, bangunannya cukup kecil dengan dua buah patung harimau tampak garang memperlihatkan gigi-giginya.
Pura Dukuh |
Jalan setapak yang ada disamping kanan pura |
Inilah hutan bambunya |
Sebuah plank yang terpasang di persimpangan jalan hutan bambu |
"Cukup sampai disini saja", fikirku. Setelah mengambil gambar dan berhenti sejenak, Ane kembali lagi menuju Desa Penglipuran. Tetapi sebelumnya, Ane mampir dahulu kekamar kecil. Tak hanya diluar saja yang bersih, didalam kamar kecilpun cukup bersih terawat dengan baik dan cesss air yang keluar dari mulut keran terasa dingin.
Bangunan-bangunan yang ada didalam Pura Penataran |
Setelah keperluan Ane selesai, Ane kembali lagi berjalan hingga menyusuri perumahan warga. Warga-warga disini nampaknya sudah sadar betul dengan keberadaan desanya yang sudah menjadi obyek wisata. Hal ini terlihat disetiap rumah-rumah menawarkan berbagai macam barang dagangan seperti souvernir khas Bali, makanan, dan minuman.
Loloh Cem-cem dan Tipat Cantok
Berbicara mengenai minuman, ada yang unik sob dengan desa ini yaitu hampir setiap warung menjual minuman bernama Loloh Cem-cem. Seperti apa sieh rasanya dari minuman tersebut? saking penasarannya akhirnya Ane memutuskan untuk mampir disalah satu warung milik warga setempat. Warga disini ramah-ramah, begitu Ane masuk kedalam warungnya sambutannya begitu hangat. Ane ditawari dengan beragam barang dagangannya mulai dari makan apa hingga minum apa. Disinilah Ane dan beliau terlibat percakapan yang panjang.
Ane : Ada loloh cem-cem Bu?
Beliau : Kebetulan lagi habis mas, mau yang lain?
Ane : La, saya penasaran ew Bu dengan minuman loloh cem-cem
Beliau : Eow, kalau begitu mari duduk dulu mas, saya carikan.
Ane : Baik Bu
Beliau : mau makan apa?
Ane : La yang tersedia apa aja ya Bu?
Ketika ibunya bilang tipat cantok, Ane langsung memilih makanan tersebut yang akan Ane santap. Soalnya Ane dari dulu sejak kedatangan Ane di Bali ingin sekali merasakan yang namanya tipat cantok, tetapi belum kesampaian.
Sang Ibu pun keluar mencarikan Ane minuman loloh cem-cem, dan tak lama kemudian dia kembali dengan membawakan sebuah botol kemasan air mineral yang berisi loloh cem-cem untuk Ane.
Ane : Owalah seperti ini tow Bu yang namanya loloh cem-cem itu.
Beliau : Iya mas
Loloh cem-cem ini Warnanya hijau alami sob seperti jus sayur yang terlihat pahit. Apakah benar begitu? Hmmm belum tahu, Ane buka terlebih dahulu. Begitu Ane buka, terdengar suara cesss dalam botol tersebut dan Sang Ibu pun mengatakan kalau loloh cem-cem yang baik harus seperti itu mengeluarkan bunyi cesss saat pertama kali dibuka. Anepun manggut-manggut saja. Ketika Ane cium, baunya seperti aroma tumbuhan.
Lalu bagaimanakah dengan rasanya? rasanya sangat unik sob, asam, manis, asin, dan sedikit pahit jadi satu. Merasa penasaran dengan darimana minuman ini berasal, Ane pun bertanya kepada beliau. Dia menjelaskan panjang lebar tentang minuman ini. Pada dasarnya loloh cem-cem berasal dari daun cemcem, dia memberitahu kepada Ane kalau seperti inilah daun cemcemnya.
Daun tersebut bisa dimakan secara langsung tanpa diolah. Dia sobek sedikit salah satu daunnya dan kemudian dia masukkan kedalam mulutnya, begitupula Ane yang ikut-ikutan memasukkan salah satu sobekan daun tersebut kedalam mulut Ane. Yang Ane rasakan adalah biasa saja sob sedikit pahit. Sementara untuk rasa asam, manis, dan asin dia menjelaskan kalau rasa-rasa tersebut timbul dari zat campurannya seperti buah asam, gula, dan garam. Minuman ini tidak mengandung bahan pengawet sehingga tidak bertahan lama.
Setelah menjelaskan tentang minuman ini, selanjutnya dia membuatkan Ane makanan yang Ane pesan tadi,"tipat cantok". Tak lama kemudian datanglah tipat cantok tersebut. Tipat cantok ini mirip dengan kupat tahu kalau di Jawa. Bahannya kecambah, daun bayam, tahu, dan kupat dilumuri dengan sambal kacang. Rasanya pun mirip bahkan sama dengan kupat tahu yang biasa Ane rasakan di Jawa.
Dia menjelaskan kalau tipat cantok itu ya memang sama dengan kupat tahu, tak ada banyak perbedaan. Mungkin lupa atau gimana ya sob, tiba-tiba dia mengulas lagi tentang loloh cem-cem. Loloh sendiri berarti jamu, sedangkan cem-cem ya cemcem. "Jadi loloh cemcem itu ya jamu cemcem", tukasnya.
Banyak hal yang dia ceritakan. Diakhir cerita beliau menjelaskan bahwa warga Desa Penglipuran yang terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli ini semuanya ramah-ramah. Kalau warga menawarkan untuk masuk ke rumahnya, maka masuk aja tak beli pun tak apa-apa. Selain itu bila pengunjung menginginkan untuk menginap disini, bisa karena disini sudah tersedia banyak homestay seperti misalnya dirumah saya. "Pokoknya kalau ke Bali, jangan lupa mampir kesini", titipnya.
Yuk, pukul kentongan |
Hari sudah semakin sore, itu artinya Ane untuk segera meninggalkan lokasi ini. Banyak hal yang dapat Ane petik disini. namun sayang perjalanan pulang menuju Kota Denpasar terbilang kurang begitu lancar. Arak-arakan masyarakat Bali yang akan beribadah, Ane temui saat keluar dari Kota Bangli. Mereka semua memakan setengah jalan, tampak para pecalang berjaga-jaga dan mengamankan jalannya para jamaah.
Ane tak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja, langsung saja Ane pinggirkan kuda hijau Ane dan Ane keluarkan kamera poket dari tas ransel. Ane foto berkali-kali dan inilah hasil terbaiknya. By The Way, Ane cukup kagum lho sob dengan para masyarakat Bali yang beragama Hindu, setiap akan beribadah mereka semua tampak bersih memakai pakaian yang bagus, selendang dan sarung tidak pernah ketinggalan.
Setelah mereka semua masuk halaman pura, Ane lanjutkan lagi perjalanan Ane hingga tak sengaja Ane membaca sebuah plank bertuliskan "Pura Dalem Jawa (Langgar)". Dibagian bawahnya terdapat tanda anak panah kekiri 75 meter. Tanda anak panah inilah yang membuat Ane penasaran, ada apakah gerangan disana dan seperti apakah puranya? berangkat dari rasa penasaran ini, beloklah Ane kearah kiri mengikuti plank tersebut. Sebenarnya sieh hari sudah sore, namun tak ada salahnya kan sob Ane untuk mampir sebentar. Tapi apa boleh buat, pemangku yang ada di pura ini sedang beribadah ke Pura yang Ane temui saat arak-arakan tadi.
"Dengan terpaksa Ane harus meninggalkan tempat ini dan mungkin lain waktu Ane akan kembali lagi kesini",fikirku. Syukur, setelah 1 jam berkendara sampailah Ane dengan selamat di penginapan Kota Denpasar.
Terlihat begitu asri dan bersih, bikin betah ya mas :D
BalasHapusIya mas Eksa,,, bener banget, :-)
Hapus